TOLERANSI saat ini sedang diperalat. Kaum muslim didorong untuk berpartisipasi dalam semarak perayaan hari raya umat agama lain, khususnya perayaan Natal dan Tahun Baru. Selain motif ekonomi untuk meraup untung, momen tersebut dijadikan momentum penting menanamkan ide sinkretisme dan pluralisme. Melalui upaya ini, akidah umat Islam secara pelan-pelan terus tergerus.
Ide pluralisme mengajarkan bahwa semua agama sama. Ajaran ini mengajak umat Islam untuk menganggap agama lain juga benar. Khusus dalam konteks Natal, umat Muslim didorong untuk menerima kebenaran ajaran Kristen, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan Yesus. Jika ide pluralisme itu berhasil ditanamkan di tubuh umat Islam. Pemurtadan dan nikah beda agama akan makin mulus berjalan. Lebih jauh, semangat umat Islam untuk memperjuangkan syariah agar dijadikan aturan untuk mengatur kehidupan masyarakat akan makin melemah.
Adapun sinkretisme adalah ide pencampuradukan ajaran agama-agama. Spirit sinkretisme adalah mengkompromikan hal-hal yang bertentangan. Dalam konteks Natal Bersama dan Tahun Baru Masehi, sinkretisme tampak dalam seruan berpartisipasi merayakan Natal dan tahun baru, termasuk mengucapkan selamat Natal. Padahal dalam Islam batasan iman dan kafir, juga batasan halal dan haram, sudah sangat jelas.
Islam memang mengajarkan sikap toleransi. Islam membiarkan umat lain menjalankan ritual agamanya, termasuk perayaan agamanya. Toleransi tidak memaksa umat lain untuk memeluk Islam. Begitupun dalam konteks muamalah, Rasul SAW berjual-beli dengan non-Muslim juga menjenguk mereka tatkala sakit. Namun, toleransi dalam Islam itu bukan berarti menerima keyakinan yang bertentangan dengan Islam.
Orang-orang Quraisy pernah menyeru Rasul SAW seraya menawarkan tahta, harta dan wanita. Tujuannya agar Rasul berhenti menyebutkan tuhan-tuhan mereka dengan keburukan. Mereka juga menawarkan diri untuk menyembah Tuhan Muhammad asal berikutnya Rasul gantian menyembah tuhan mereka. Sebagai jawabannya, Allah SWT menurunkan surat al-Kafirun yang menolak semua tawaran tersebut dengan tegas.
Jelaslah bahwa umat Islam haram terlibat dalam peribadatan dan merayakan hari raya agama lain, bagaimanapun bentuknya. Kalaupun memakai atribut Natal dianggap bukan bagian dari peribadatan, tetapi itu termasuk aktifitas tasyabuh (menyerupai). Padahal Rasul saw telah melarangnya, beliau bersabda: ”Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Selanjutnya Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa keseluruhan ayat Q.S. Al Furqan [25]:72 memberikan pengertian bahwa kaum mukmin tidak menghadiri az-zûr. Berdasarkan ayat tersebut, banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pun mengatakan bahwa sebagaimana kaum musyrik tidak boleh menampakkan syiar-syiar mereka, tidak boleh pula kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka.
Umat Islam tidak layak terperangkap toleransi yang diperalat, sehingga terjebak dalam keharaman. Semestinya umat Islam fokus pada agenda utama mereka untuk mewujudkan kehidupan islami, melalui penerapan syariah Islam secara total di bawah naungan Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Wallohu a’lamu bishshowwaab.
No comments:
Post a Comment